Pagi semalam (Ahad 3/5/09) semasa merewang di kedai-kedai buku, tiba-tiba saya ternampak satu buku kecil atau semacam buletin yang bertajuk ’Spectacular Sarjana dan Santri Sirojul Mukhlasin’.
”Ini mesti daripada Indonesia ni...”, bisik hati saya.
Indonesia sememangnya satu bangsa yang terkenal dengan lautan khazanah buku-bukunya. Beberapa orang kenalan yang berkecimpung dalam bidang penerbitan buku juga mengakuinya. Bahkan, mereka secara jujur menyatakan kepada saya, ramai penerbit-penerbit buku yang bernuansakan agama dan pembangunan diri (self developement) ini, pergi ke Indonesia bagi mendapatkan buku-buku yang menarik dan mempunyai daya ’jualan-paling-laris’. Kemudiaannya, buku tersebut akan diterjemahkan kepada bahasa Malaysia. Maklumlah, bagi yang kurang biasa, beza antara bahasa Melayu Indonesia dan Melayu Malaysia kadang-kadang memang memeningkan. Bagi saya, menguasai sedikit sebanyak bahasa Melayu Indonesia, amat menguntungkan bagi seseorang yang cintakan ilmu. Pengalaman saya berkelana dan bersilaturohmi di Indonesia selama dua bulan pada tahun 1992, sedikit sebanyak membantu saya dalam memahami bahasa Indonesia.
Buku kecil tadi saya belek-belek. Tiba-tiba mata saya tertangkap satu perenggan yang menyatakan tentang salah seorang Wali Songo, iaitu ”Sunan Kalijaga”.
”Pernah dengar tentang Wali Songo?”
Ensiklopedia bebas Wikipedia menyatakan, ”Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.” (http://id.wikipedia.org)
”Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.” (http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Islam/walisongo.htm)
Berbalik kepada buku kecil Spectacular tersebut, apa yang tertera dalam perenggan tersebut ialah satu pesanan yang diungkapkan oleh Sunan Kalijaga. Saya petik daripada buku tersebut (tanpa mengubah ejaan mahupun gaya bahasa asalnya).
”Ini mesti daripada Indonesia ni...”, bisik hati saya.
Indonesia sememangnya satu bangsa yang terkenal dengan lautan khazanah buku-bukunya. Beberapa orang kenalan yang berkecimpung dalam bidang penerbitan buku juga mengakuinya. Bahkan, mereka secara jujur menyatakan kepada saya, ramai penerbit-penerbit buku yang bernuansakan agama dan pembangunan diri (self developement) ini, pergi ke Indonesia bagi mendapatkan buku-buku yang menarik dan mempunyai daya ’jualan-paling-laris’. Kemudiaannya, buku tersebut akan diterjemahkan kepada bahasa Malaysia. Maklumlah, bagi yang kurang biasa, beza antara bahasa Melayu Indonesia dan Melayu Malaysia kadang-kadang memang memeningkan. Bagi saya, menguasai sedikit sebanyak bahasa Melayu Indonesia, amat menguntungkan bagi seseorang yang cintakan ilmu. Pengalaman saya berkelana dan bersilaturohmi di Indonesia selama dua bulan pada tahun 1992, sedikit sebanyak membantu saya dalam memahami bahasa Indonesia.
Buku kecil tadi saya belek-belek. Tiba-tiba mata saya tertangkap satu perenggan yang menyatakan tentang salah seorang Wali Songo, iaitu ”Sunan Kalijaga”.
”Pernah dengar tentang Wali Songo?”
Ensiklopedia bebas Wikipedia menyatakan, ”Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.” (http://id.wikipedia.org)
”Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.” (http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Islam/walisongo.htm)
Berbalik kepada buku kecil Spectacular tersebut, apa yang tertera dalam perenggan tersebut ialah satu pesanan yang diungkapkan oleh Sunan Kalijaga. Saya petik daripada buku tersebut (tanpa mengubah ejaan mahupun gaya bahasa asalnya).
Pesan Sunan Kalijogo: ”Besuk yen kali wus ilangkedunge, pasar wus ilang kumandange, wong wadon wus ilang wirange. Mongko enggalo topo lelono jajah desomilang kori, ojo ngasi bali sak durunge patang sasi, entuk wisik soko sang hyang widi”.
Besuk yen kali wus ilang kedunge (Besok jika sungai telah hilang lubuknya), dan kenyataan saat ini hampir semua sungaitidak ada lubuknya baik sungai besar maupun kecil, bahkan sampai pada sungai-sungai besar di luar Jawa, mungkin dikarenakan adanya erosi.
Pasar wus ilang kumandange (pasar telah kehilangan gaungnya), kenyataan yang terjadi sekarang, pasar telah berubah menjadi mal-mal, supermarket dan minimarket yang tidak ada tawar menawar. Bahkan akhir-akhir ini banyak pedagang kaki lima yang digusur.
Wong wadon wus ilang wirange (Perempuan sudah hilang sifat malunya), mungkin karena pengaruh budaya orang kafir yang demikian gencarnya. Dan yang paling banyak terpengarauh adanya kaum wanita, dan dapat kita lihat di tempat-tempat hiburan, wisata dll, kemaksiatan di sana kebanyakan disebabkan karena perempuan. Bayangkan seandainya semua wanita menutup aurat secara sempurna ( bercadar ), maka kurang lebih 80-90 persen kemaksiatan akan hilang dengan sendirinya.
Pesan dari Sunan Kalijogo di atas merupakan suatu tanda bahwa fitnah besar telah tiba, jika yang dimaksud dengan fitnah adalah lemahnya agama dan banyaknya kemaksiatan, maka inipun sudah tiba. Atau jika yang dimaksudkan kebingungan ummat baik di kalangan rakyat ataupun pemerintahan, akaya atau miskin, tua atau muda, maka sudah nampak bahwa hampir semua dalam keadaan bingung walaupun dalam kapasitas yang berbeda satu dengan lainnya. Sehingga ummat saat ini tidak mengetahui apa yang seharusnya dikerjakan, orang yang bekerja hanya asal bekerja, asal bisa dapat makan, asal bisa memperoleh kesenangan.
Dan penawar dari semua masalah di atas adalah ”Mongko enggalo topo lelono jajah deso milang kori, ojo ngasi bali sak durunge patang sasi, entuk wisik soko sang hyang widi, (Maka bersegeralah bertapa dan berkelana, menjelajah desa, mengetuk setiap pintu, jangan sampai pulang sebelum selesai empat bulan dan mendapat ilham dari Dzat Yang Maha Esa), bertapa yang biasa dijalankan di dalam gua, gunung dan tempat-tempat yang sepi, namun dalam pesan Sunan Kalijaga diperintahkan agar bertapa dengan berkelana menjelajahi desa dan perkampungan, mengetuk pintu (hal ini persis dengan apa yang dilakukan oleh ummat Islam yang berdakwah dengan khuruj fi sabilillah).
Demikian petikan yang saya ambil daripada halaman 29 buku Spectacular ini.
Inilah pesan seorang da’ie kepada ummah, pesan yang telah dilontarkan sejak lebih kurang 500 tahun yang lalu!
Oh Allah... Fahamkanlah kami!
Inilah pesan seorang da’ie kepada ummah, pesan yang telah dilontarkan sejak lebih kurang 500 tahun yang lalu!
Oh Allah... Fahamkanlah kami!
No comments:
Post a Comment