Friday, March 27, 2009

Peristiwa pemboikotan di zaman Nabi s.a.w.


Dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik ra., (beliau adalah salah seorang panglima perang), dari anaknya, ia berkata, "Saya mendengar Ka'ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersama) Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Ka'ab bin Malik berkata, "Saya selalu bersama Rasulullah saw. dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang saya juga tidak bersama beliau dalam perang Badar, tetapi tak seorangpun dicela karena tidak ikut perang tersebut. Sebab waktu itu Rasulullah saw. bersama kaum muslimin keluar bertujuan menghadang rombongan Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh.

Sungguh saya mengikuti pertemuan bersama Rasulullah saw. pada malam hari di dekat Jumrah Aqabah ketika kami berjanji memeluk agama Islam. Saya tidak merasa lebih senang seandainya saya bisa mengikuti perang Badar tetapi tidak mengikuti bai'at di Jumrah Aqabah, meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaannya di kalangan manusia daripada Bai'at di Jumrah Aqabah. Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang) daripada ketika saya tertinggal dari Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Demi Allah sebelum perang Tabuk saya tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, tetapi waktu perang Tabuk kalau mau saya bisa melakukannya.

Karena Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika hari sangat panas, menghadapi perjalanan jauh dan sulit serta menghadapi musuh yang berjumlah besar, maka Rasulullah saw merasa perlu membekali kaum muslimin akan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi agar kaum muuslimin membuat persiapan yang cukup. Rasulullah saw. juga menjelaskan tentang tujuan mereka. Waktu itu kaum muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah saw. cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatan dalam buku. Sedikit sekali di antara mereka yang absen (bersembunyi dan tidak ikut perang). Orang-orang yang absen itu mengira bahwa Rasulullah saw. tidak mengetahuinya selama wahyu Allah Ta'ala tidak turun.

Rasulullah berangkat ke Tabuk ketika buah-buahan dan tetumbuhan kelihatan bagus. Karena itu hatiku lebih condong ke sana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum muslimin hendak berangkat mempersiapkan segala sesuatunya, saya pun bergegas keluar guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namu saya kembali tanpa menghasilkan apa-apa, padahal dalam hati saya berkata, "Saya mampu mempersiapkannya jika bersungguh-sungguh." Demikian itu berlangsung terus, dan saya selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslimin memuncak.

Pada akhirnya di pagi hari Rasulullah saw. beserta kaum muslimin berangkat, sementara saya belum mengadakan persiapan. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian saya putuskan untuk menyusul kaum muslimin. Andai saja saya berbuat demikian, namun takdir menentukan lain.

Akhirnya ketika saya keluar dan bergaul dengan masyarakat sesudah berangkatnya Rasulullah saw. hatiku resah dan saya menganggap diri ini tidak lebih sebagai seorang munafiq atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah karena lemah (pada saat itu di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut munifiq dan orang-orang yang udzur karena amat lemah, seperti orang yang tidak dapat berjalan, buta, sakit dan sebagainya). (Menurut keterangan teman-teman)Rasulullah saw. tidak pernah menyebut-nyebut saya hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk barulah beliau bertanya,

"Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka'ab bin Malik?"

Salah seorang dari Bani Salimah menjawab, "Ya Rasulullah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (sedang bersenang-senang memakai pakaiannya)."

Tetapi Mu'adz bin Jabal menghardiknya. "Betapa buruk perkataanmu. Demi Allah yang kami ketahui pada Ka'ab hanyalah kebaikan."

Rasulullah saw pun diam. Pada saat itulah Rasulullah melihat seorang lelaki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan.Rasulullah saw. bersabda, "Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah."

Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah Al-Anshariy. Dialah orang yang bersedekah segantang kurma, ketika diolok-olok oleh orang munafiq.

Ka'ab meneruskan ceritanya, "Tatkala saya mendengar bahwa Rasulullah berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, maka kesusahan pun mulai menyelimuti saya. Saya mulai mereka-reka alasan apa yang bisa menyelamatkan saya dari Rasulullah saw. Saya juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang baik. Tetapi ketika mendengar bahwa Rasulullah saw. sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang saya siapkan hingga saya yakin tidak ada alasan yang dapat menyelamatkan dari Rasulullah saw., selamanya. Karena itu saya akan mengatakan yang sebenarnya.

Keesokan harinya Rasulullah saw. tiba. Biasanya kalau beliau datang dari bepergian yang beliau tuju pertama kali adalah masjid. Beliau mengerjakan salat dua raka'at lalu duduk menunggu kaum muslimin melaporkan sesuatu dan sebagainya. Maka berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut ke Tabuk menemui beliau. Mereka mengemukakan berbagai alasan kepada Rasulullah saw. disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada delapan puluh orang lebih. Rasulullah saw. menerima mereka. Beliau memperkenankan memperbaharui bai'at dan memohonkan ampun bagi mereka, sedangkan batin mereka beliau serahkan kepada Allah Ta'ala.

Tibalah giliran saya menghadap. Ketika saya mengucapkan salam beliau tersenyum sinis kemudian bersabda, "Kemarilah."

Kaab berjalan mendekat dan duduk di hadapan beliau. Lalu beliau mulai bertanya.
"Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?"

Saya menjawab, "Ya Rasulullah! Demi Allah, andaikata saya duduk di hadapan orang selainmu, saya yakin akan dapat bebas dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan yang bisa diterima. Sungguh saya telah dikaruniai kepandaian berbicara. Namun, demi Allah saya benar-benar yakin, seumpama hari ini saya berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah Ta'ala menggerakkan hatimu untuk marah kepada saya. Sebaliknya, jika saya berkata benar yang membuatmu marah kepadaku, maka saya dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah, saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah, diriku sama sekali tidak merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada ketika saya tidak mengikutimu ke Tabuk. Sekarang ini saya merasa cukup segalanya."

Rasulullah saw., bersabda, "Orang ini (Ka'ab bin Malik) telah berkata benar. Berdirilah! Tunggu keputusan Allah terhadap dirimu."

Akupun berdiri. Beberapa orang dari Bani Salimah menghampiri saya. Mereka berkata kepada saya, "Demi Allah, kami tidak pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Engkau benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah saw., seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu jika Rasulullah saw. memintakan ampun untukmu."

Ka'b melanjutkan, "Demi Allah, orang-orang Bani Salimah itu terus-menerus menyalahkan diriku, sehingga ingin rasanya saya kembali kepada Rasulullah saw. untuk meralat perkataanku. Tetapi kemudian saya bertanya kepada orang-orang Bani Salimah itu, "Adakah orang lain yang mengalami seperti yang saya alami?" Mereka menjawab, "Ya memang ada. Ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang engkau katakan dan mereka mendapat jawaban sama seperti jawaban yang engkau terima."

Saya bertanya, "Siapa mereka?" Mereka menjawab, "Murarah bin Rabi'ah Al-Amiriy dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifiy."

Dua orang lelaki salih itu telah mengikuti perang Badar dan dapat kuikuti karena akhlaknya. Sejak itu Rasulullah saw. melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga. Sejak itu pula mereka telah berubah sikap dan menjauhi kami sehingga bumi terasa asing bagiku seolah-oleh bumi yang saya pijak ini bukanlah bumi yang sudah ku kenal.

Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua orang temanku (Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing sambil tiada henti-hentinya menangis mohon ampun kepada Allah karena tidak ikut perang. Di antara kami bertiga sayalah orang yang paling muda dan paling kuat. Saya tetap keluar rumah untuk mengikuti salat jamaah bersama kaum muslimin, juga pergi ke pasar. Tetapi tak seorangpun mau diajak berbicara. Saya pergi menghadap Rasulullah saw. untuk sekadar mengucapkan salam kepada beliau di tempat duduk beliau sesudah salat. Tetapi hati ini berkata, "Apakah Rasulullah saw. akan menggerakkan bibir beliau untuk menjawab salam, ataukah tidak?"

Kemudian saya mngerjakan salat berdekatan dengan beliau, sesekali saya melirik beliau. Apabila menghadap ke salat, beliau memandangku, kalau menengok ke arah beliau beliau berpaling dari saya. Hal ini terjadi berturut-turut sampai suatu hari saya berjalan-jalan lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling saya sayangi. Kuucapkan salam kepadanya.

"Demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa saya ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?" Abu Qatadah diam saja.Sehingga kuulangi pertanyaanku, dia tetap diam. Sesudah saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi barulah dia menjawab.

"Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!" Seketika itu mengalirlah air mata saya dan saya pun pulang. Pada suatu hari, ketika saya sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang petani beragama Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuzk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya (kepada orang-orang yang berada di pasar), "Siapakah yang dapat menunjukkan diriku pada Ka'ab bin Malik?" Orang-orang memberikan isyarat ke arahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari raja Ghassan.

Setelah saya baca ternyata isinya sebagai berikut, "Amma ba'du. Seungguh kami mendengar bahwa temanmu (Nabi Muhammad saw.) mendiamkanmu, sedangkan Allah sendiri tidak menjadikanmu untuk tinggal di tempat hida dan tersia-sia. Karean itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu." Saat membaca surat itu saya berpikir, "Ini juga merupakan cobaan." Kemudian saya bakar surat itu di dapur.

Selang empat puluh hari tiba-tiba seorang utusan Rasulullah saw. datang kepadaku dan berkata, "Rasulullah saw. memerintahkanmu untuk menjauhi isterimu."

Ka'ab bertanya, "Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?"

Utusan itu menjawab, "Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat-dekat padanya!" Rasulullah saw. juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku (Murarah dan Hilal) yang maksudnya sama dengan yang kuterima.

Saya berkata kepada isteriku, "Pulanglah kepada keluargamu. Sementara menetaplah engkau di sana, sampai keputusan Allah datang.

Suatu saat isteri Hilal bin Umayyah mengadap Rasulullah saw., memohon kepada beliau. "Ya Rasulullah! Suamiku, Hilal bin Umayyah, adalah seorang tua sebatang kara dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau keberatan bila saya melayaninya?"

Rasulullah saw. menjawab, "Tidak, tetapi yang saya maksud jangan sampai dia dekat-dekat padamu." Isteri Hilal pun berkata, "Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan sedikitpun (gairah) terhadapku. Dan demi Allah, tak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang kaum muslimin berbicara dengannya, sampai hari ini."

Sebagian keluarga berkata kepada saya, "Hai Ka'ab! Kalau saja engkau meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk isterimu tentu itu lebih baik, sebagaimana isteri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya."

Saya menjawab, "Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw. Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasululllah saw. apabila saya meminta izin beliau, sedangkan saya seorang yang masih muda."

Saya lalui kehidupan tanpa isteri itu selama sepuluh hari (menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagi kami lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian pada hari ke lima puluh, di bagian atas rumahku pada saat saya sedang duduk ketika salat subuh, Allah menyebut-nyebut tentang kami. Di saat itu pula hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku.

Kemudian saya mendengar suara orang yang berteriak-teriak naik ke atas Sal'i. "HaiKa'ab bin Malik, bergembiralah!"

Serta merta saya menjatuhkan diri bersujud syukur dan saya tahu bahwa saya dapat penyelesaian. Rasulullah saw. memberitahu kepada kaum muslimin, bahwa Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi telah menerima tobat kami bertiga. Kabar itu disampaikan seusai beliau mengerjakan salat Subuh. Maka kaum muslimin berdatangan mengucapkan selamat dan ikut bergembira, juga kepada kedua orang teman (Murarah dan Hilal). Mereka ada yang datang berkuda, ada lagi penduduk Aslam yang berjalan kaki dan ada pula yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat,sehingga suaranya lebih cepat dari larinya kuda.

Ketika saya mendengar ucapan selamat dari orang pertama dan datang kepada saya, seketika itu juga saya melepaskan pakaian dan saya kenakan kepadanya. Padahal demi Allah Waktu itu saya tidak memiliki pakaian. Setelah itu saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menghadap Rasulullah saw., sementara kaum muslimin menyambutku, mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Mereka berkata kepada saya, "Selamat atas pengampunan Allah kepadamu." Demikianlah, sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat.

Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah saw. dedang duduk dikelilingi oleh para sahabat. Melihat kedatanganku, sahabat Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyongsongku, menjabat tangan saya dan memberi selamat. Demi Allah! Tak seorangpun di antara para sahabat Muhajirin yang berdiri, kecuali dia. Karena itulah Ka'ab tidak bisa melupakan kebaikannya.

Ka'ab meneruskan ceritanya, "Tatkala saya mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. beliau menyambut saya dengan wajah yang berseri-seri dan berkata, "Bergembiralah! Karena hari ini merupakan hari paling baik bagimu sejak kamu dilahirkan ibumu."

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah apakah itu darimu sendiri ataukah dari sisi Allah?"

Beliau saw. menjawab, "Dari Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi." Jika merasa senang, wajah Rasulullah saw. bersinar terang seolah-olah merupakan potongan rembulan. Melalui wajahnya kami mengetahui bahwa Rasulullah saw. sedang senang hatinya.

Ketika saya duduk menghadap beliau, saya berkata, "Ya Rasulullah, sungguh termasuk tobat saya (sebagai pernyataan rasa syukurku), aku hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah untuk (mendapat ridha)Allah dan Rasul-Nya."

Rasulullah saw. bersabda, "Simpanlah sebagian harta bendamu (jangan engkau serahkan seluruhnya.) Itu lebih baik."

Kemudian saya menjawab, "Saya masih mempunyai tanah yang menjadi bagian saya hasil dari rampasan perang di Khaibar." Lebih lanjut saya berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku karena kejuruan. Dan saya nyatakan bahwa termasuk tobatku (sabagai pernyataan rasa syukur kepada Allah) saya tidak akan berbicara selain yang benar selama hidup saya."

Demi Allah saya tidak pernah melihat seorang pun di antara kaum muslimin yang diuji Allah Ta'ala untuk berkata jujur lebih baik dari saya semenjak berjanji kepada Rasulullah saw, sampai hari ini. Demi Allah, sejak saya berjanji kepada Rasulullah saw.hingga kini, saya tidak pernah sengaja berbohong. Dan saya berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku."

Kemudian Allah menurunkan ayat 117 s/d 119 surat At-Taubah,
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang [Yaitu Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi'] yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.

Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar."

Menurut Ka'ab, "Demi Allah, belum pernah Allah memberikan nikmat sesudah Dia memberi saya petunjuk memeluk Islam yang melebihi kejujuran saya kepada Rasulullah saw. Sebab, andaikata saya berbohong kepada beliau, pastilah bencana menimpa saya (rusak agamaku) sebagaimana orang-orang munafik yang berdusta kepada beliau. Sungguh Allah telah berfirman untuk orang-orang mendustai Rasulullah saw. dan mengecam betapa jelek orang tersebut.

Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 95 dan 96,
"Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka [Maksudnya, tidak mencela mereka]. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu."

Lebih lanjut Ka'ab berkata, "Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafiq ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah saw., lalu beliau menerima bai'at mereka dan meminta ampun kepada Allah. Tetapi masalah kami ditunda Rasulullah saw. sampai Allah memutuskan menerima tobat kami." Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan tobatnya...." (QS.9,118)

Firman tersebut menurut Ka'ab bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari perang Tabuk, tetapi mempunyai arti bahwa persoalan kami bertiga diundur dari orang munafiq yang bersumpah kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh Rasulullah saw." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam salah satu riwayat disebutkan, "Nabi saw. pada waktu perang Tabuk keluar pada Hari Khamis."

Dalam salah satu riwayat lain disebutkan, "Biasanya beliau kalau datang dari bepergian pada waktu pagi, dan bila datang biasanya langsung ke Masjid dan salat dua rakaat kemudian duduk di dalamnya."


Peristiwa pemboikotan di zaman Nabi s.a.w.


Dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik ra., (beliau adalah salah seorang panglima perang), dari anaknya, ia berkata, "Saya mendengar Ka'ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersama) Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Ka'ab bin Malik berkata, "Saya selalu bersama Rasulullah saw. dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang saya juga tidak bersama beliau dalam perang Badar, tetapi tak seorangpun dicela karena tidak ikut perang tersebut. Sebab waktu itu Rasulullah saw. bersama kaum muslimin keluar bertujuan menghadang rombongan Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh.

Sungguh saya mengikuti pertemuan bersama Rasulullah saw. pada malam hari di dekat Jumrah Aqabah ketika kami berjanji memeluk agama Islam. Saya tidak merasa lebih senang seandainya saya bisa mengikuti perang Badar tetapi tidak mengikuti bai'at di Jumrah Aqabah, meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaannya di kalangan manusia daripada Bai'at di Jumrah Aqabah. Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang) daripada ketika saya tertinggal dari Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Demi Allah sebelum perang Tabuk saya tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, tetapi waktu perang Tabuk kalau mau saya bisa melakukannya.

Karena Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika hari sangat panas, menghadapi perjalanan jauh dan sulit serta menghadapi musuh yang berjumlah besar, maka Rasulullah saw merasa perlu membekali kaum muslimin akan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi agar kaum muuslimin membuat persiapan yang cukup. Rasulullah saw. juga menjelaskan tentang tujuan mereka. Waktu itu kaum muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah saw. cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatan dalam buku. Sedikit sekali di antara mereka yang absen (bersembunyi dan tidak ikut perang). Orang-orang yang absen itu mengira bahwa Rasulullah saw. tidak mengetahuinya selama wahyu Allah Ta'ala tidak turun.

Rasulullah berangkat ke Tabuk ketika buah-buahan dan tetumbuhan kelihatan bagus. Karena itu hatiku lebih condong ke sana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum muslimin hendak berangkat mempersiapkan segala sesuatunya, saya pun bergegas keluar guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namu saya kembali tanpa menghasilkan apa-apa, padahal dalam hati saya berkata, "Saya mampu mempersiapkannya jika bersungguh-sungguh." Demikian itu berlangsung terus, dan saya selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslimin memuncak.

Pada akhirnya di pagi hari Rasulullah saw. beserta kaum muslimin berangkat, sementara saya belum mengadakan persiapan. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian saya putuskan untuk menyusul kaum muslimin. Andai saja saya berbuat demikian, namun takdir menentukan lain.

Akhirnya ketika saya keluar dan bergaul dengan masyarakat sesudah berangkatnya Rasulullah saw. hatiku resah dan saya menganggap diri ini tidak lebih sebagai seorang munafiq atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah karena lemah (pada saat itu di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut munifiq dan orang-orang yang udzur karena amat lemah, seperti orang yang tidak dapat berjalan, buta, sakit dan sebagainya). (Menurut keterangan teman-teman)Rasulullah saw. tidak pernah menyebut-nyebut saya hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk barulah beliau bertanya,

"Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka'ab bin Malik?"

Salah seorang dari Bani Salimah menjawab, "Ya Rasulullah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (sedang bersenang-senang memakai pakaiannya)."

Tetapi Mu'adz bin Jabal menghardiknya. "Betapa buruk perkataanmu. Demi Allah yang kami ketahui pada Ka'ab hanyalah kebaikan."

Rasulullah saw pun diam. Pada saat itulah Rasulullah melihat seorang lelaki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan.Rasulullah saw. bersabda, "Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah."

Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah Al-Anshariy. Dialah orang yang bersedekah segantang kurma, ketika diolok-olok oleh orang munafiq.

Ka'ab meneruskan ceritanya, "Tatkala saya mendengar bahwa Rasulullah berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, maka kesusahan pun mulai menyelimuti saya. Saya mulai mereka-reka alasan apa yang bisa menyelamatkan saya dari Rasulullah saw. Saya juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang baik. Tetapi ketika mendengar bahwa Rasulullah saw. sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang saya siapkan hingga saya yakin tidak ada alasan yang dapat menyelamatkan dari Rasulullah saw., selamanya. Karena itu saya akan mengatakan yang sebenarnya.

Keesokan harinya Rasulullah saw. tiba. Biasanya kalau beliau datang dari bepergian yang beliau tuju pertama kali adalah masjid. Beliau mengerjakan salat dua raka'at lalu duduk menunggu kaum muslimin melaporkan sesuatu dan sebagainya. Maka berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut ke Tabuk menemui beliau. Mereka mengemukakan berbagai alasan kepada Rasulullah saw. disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada delapan puluh orang lebih. Rasulullah saw. menerima mereka. Beliau memperkenankan memperbaharui bai'at dan memohonkan ampun bagi mereka, sedangkan batin mereka beliau serahkan kepada Allah Ta'ala.

Tibalah giliran saya menghadap. Ketika saya mengucapkan salam beliau tersenyum sinis kemudian bersabda, "Kemarilah."

Kaab berjalan mendekat dan duduk di hadapan beliau. Lalu beliau mulai bertanya.
"Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?"

Saya menjawab, "Ya Rasulullah! Demi Allah, andaikata saya duduk di hadapan orang selainmu, saya yakin akan dapat bebas dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan yang bisa diterima. Sungguh saya telah dikaruniai kepandaian berbicara. Namun, demi Allah saya benar-benar yakin, seumpama hari ini saya berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah Ta'ala menggerakkan hatimu untuk marah kepada saya. Sebaliknya, jika saya berkata benar yang membuatmu marah kepadaku, maka saya dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah, saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah, diriku sama sekali tidak merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada ketika saya tidak mengikutimu ke Tabuk. Sekarang ini saya merasa cukup segalanya."

Rasulullah saw., bersabda, "Orang ini (Ka'ab bin Malik) telah berkata benar. Berdirilah! Tunggu keputusan Allah terhadap dirimu."

Akupun berdiri. Beberapa orang dari Bani Salimah menghampiri saya. Mereka berkata kepada saya, "Demi Allah, kami tidak pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Engkau benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah saw., seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu jika Rasulullah saw. memintakan ampun untukmu."

Ka'b melanjutkan, "Demi Allah, orang-orang Bani Salimah itu terus-menerus menyalahkan diriku, sehingga ingin rasanya saya kembali kepada Rasulullah saw. untuk meralat perkataanku. Tetapi kemudian saya bertanya kepada orang-orang Bani Salimah itu, "Adakah orang lain yang mengalami seperti yang saya alami?" Mereka menjawab, "Ya memang ada. Ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang engkau katakan dan mereka mendapat jawaban sama seperti jawaban yang engkau terima."

Saya bertanya, "Siapa mereka?" Mereka menjawab, "Murarah bin Rabi'ah Al-Amiriy dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifiy."

Dua orang lelaki salih itu telah mengikuti perang Badar dan dapat kuikuti karena akhlaknya. Sejak itu Rasulullah saw. melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga. Sejak itu pula mereka telah berubah sikap dan menjauhi kami sehingga bumi terasa asing bagiku seolah-oleh bumi yang saya pijak ini bukanlah bumi yang sudah ku kenal.

Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua orang temanku (Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing sambil tiada henti-hentinya menangis mohon ampun kepada Allah karena tidak ikut perang. Di antara kami bertiga sayalah orang yang paling muda dan paling kuat. Saya tetap keluar rumah untuk mengikuti salat jamaah bersama kaum muslimin, juga pergi ke pasar. Tetapi tak seorangpun mau diajak berbicara. Saya pergi menghadap Rasulullah saw. untuk sekadar mengucapkan salam kepada beliau di tempat duduk beliau sesudah salat. Tetapi hati ini berkata, "Apakah Rasulullah saw. akan menggerakkan bibir beliau untuk menjawab salam, ataukah tidak?"

Kemudian saya mngerjakan salat berdekatan dengan beliau, sesekali saya melirik beliau. Apabila menghadap ke salat, beliau memandangku, kalau menengok ke arah beliau beliau berpaling dari saya. Hal ini terjadi berturut-turut sampai suatu hari saya berjalan-jalan lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling saya sayangi. Kuucapkan salam kepadanya.

"Demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa saya ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?" Abu Qatadah diam saja.Sehingga kuulangi pertanyaanku, dia tetap diam. Sesudah saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi barulah dia menjawab.

"Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!" Seketika itu mengalirlah air mata saya dan saya pun pulang. Pada suatu hari, ketika saya sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang petani beragama Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuzk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya (kepada orang-orang yang berada di pasar), "Siapakah yang dapat menunjukkan diriku pada Ka'ab bin Malik?" Orang-orang memberikan isyarat ke arahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari raja Ghassan.

Setelah saya baca ternyata isinya sebagai berikut, "Amma ba'du. Seungguh kami mendengar bahwa temanmu (Nabi Muhammad saw.) mendiamkanmu, sedangkan Allah sendiri tidak menjadikanmu untuk tinggal di tempat hida dan tersia-sia. Karean itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu." Saat membaca surat itu saya berpikir, "Ini juga merupakan cobaan." Kemudian saya bakar surat itu di dapur.

Selang empat puluh hari tiba-tiba seorang utusan Rasulullah saw. datang kepadaku dan berkata, "Rasulullah saw. memerintahkanmu untuk menjauhi isterimu."

Ka'ab bertanya, "Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?"

Utusan itu menjawab, "Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat-dekat padanya!" Rasulullah saw. juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku (Murarah dan Hilal) yang maksudnya sama dengan yang kuterima.

Saya berkata kepada isteriku, "Pulanglah kepada keluargamu. Sementara menetaplah engkau di sana, sampai keputusan Allah datang.

Suatu saat isteri Hilal bin Umayyah mengadap Rasulullah saw., memohon kepada beliau. "Ya Rasulullah! Suamiku, Hilal bin Umayyah, adalah seorang tua sebatang kara dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau keberatan bila saya melayaninya?"

Rasulullah saw. menjawab, "Tidak, tetapi yang saya maksud jangan sampai dia dekat-dekat padamu." Isteri Hilal pun berkata, "Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan sedikitpun (gairah) terhadapku. Dan demi Allah, tak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang kaum muslimin berbicara dengannya, sampai hari ini."

Sebagian keluarga berkata kepada saya, "Hai Ka'ab! Kalau saja engkau meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk isterimu tentu itu lebih baik, sebagaimana isteri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya."

Saya menjawab, "Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw. Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasululllah saw. apabila saya meminta izin beliau, sedangkan saya seorang yang masih muda."

Saya lalui kehidupan tanpa isteri itu selama sepuluh hari (menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagi kami lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian pada hari ke lima puluh, di bagian atas rumahku pada saat saya sedang duduk ketika salat subuh, Allah menyebut-nyebut tentang kami. Di saat itu pula hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku.

Kemudian saya mendengar suara orang yang berteriak-teriak naik ke atas Sal'i. "HaiKa'ab bin Malik, bergembiralah!"

Serta merta saya menjatuhkan diri bersujud syukur dan saya tahu bahwa saya dapat penyelesaian. Rasulullah saw. memberitahu kepada kaum muslimin, bahwa Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi telah menerima tobat kami bertiga. Kabar itu disampaikan seusai beliau mengerjakan salat Subuh. Maka kaum muslimin berdatangan mengucapkan selamat dan ikut bergembira, juga kepada kedua orang teman (Murarah dan Hilal). Mereka ada yang datang berkuda, ada lagi penduduk Aslam yang berjalan kaki dan ada pula yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat,sehingga suaranya lebih cepat dari larinya kuda.

Ketika saya mendengar ucapan selamat dari orang pertama dan datang kepada saya, seketika itu juga saya melepaskan pakaian dan saya kenakan kepadanya. Padahal demi Allah Waktu itu saya tidak memiliki pakaian. Setelah itu saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menghadap Rasulullah saw., sementara kaum muslimin menyambutku, mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Mereka berkata kepada saya, "Selamat atas pengampunan Allah kepadamu." Demikianlah, sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat.

Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah saw. dedang duduk dikelilingi oleh para sahabat. Melihat kedatanganku, sahabat Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyongsongku, menjabat tangan saya dan memberi selamat. Demi Allah! Tak seorangpun di antara para sahabat Muhajirin yang berdiri, kecuali dia. Karena itulah Ka'ab tidak bisa melupakan kebaikannya.

Ka'ab meneruskan ceritanya, "Tatkala saya mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. beliau menyambut saya dengan wajah yang berseri-seri dan berkata, "Bergembiralah! Karena hari ini merupakan hari paling baik bagimu sejak kamu dilahirkan ibumu."

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah apakah itu darimu sendiri ataukah dari sisi Allah?"

Beliau saw. menjawab, "Dari Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi." Jika merasa senang, wajah Rasulullah saw. bersinar terang seolah-olah merupakan potongan rembulan. Melalui wajahnya kami mengetahui bahwa Rasulullah saw. sedang senang hatinya.

Ketika saya duduk menghadap beliau, saya berkata, "Ya Rasulullah, sungguh termasuk tobat saya (sebagai pernyataan rasa syukurku), aku hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah untuk (mendapat ridha)Allah dan Rasul-Nya."

Rasulullah saw. bersabda, "Simpanlah sebagian harta bendamu (jangan engkau serahkan seluruhnya.) Itu lebih baik."

Kemudian saya menjawab, "Saya masih mempunyai tanah yang menjadi bagian saya hasil dari rampasan perang di Khaibar." Lebih lanjut saya berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku karena kejuruan. Dan saya nyatakan bahwa termasuk tobatku (sabagai pernyataan rasa syukur kepada Allah) saya tidak akan berbicara selain yang benar selama hidup saya."

Demi Allah saya tidak pernah melihat seorang pun di antara kaum muslimin yang diuji Allah Ta'ala untuk berkata jujur lebih baik dari saya semenjak berjanji kepada Rasulullah saw, sampai hari ini. Demi Allah, sejak saya berjanji kepada Rasulullah saw.hingga kini, saya tidak pernah sengaja berbohong. Dan saya berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku."

Kemudian Allah menurunkan ayat 117 s/d 119 surat At-Taubah,
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang [Yaitu Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi'] yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.

Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar."

Menurut Ka'ab, "Demi Allah, belum pernah Allah memberikan nikmat sesudah Dia memberi saya petunjuk memeluk Islam yang melebihi kejujuran saya kepada Rasulullah saw. Sebab, andaikata saya berbohong kepada beliau, pastilah bencana menimpa saya (rusak agamaku) sebagaimana orang-orang munafik yang berdusta kepada beliau. Sungguh Allah telah berfirman untuk orang-orang mendustai Rasulullah saw. dan mengecam betapa jelek orang tersebut.

Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 95 dan 96,
"Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka [Maksudnya, tidak mencela mereka]. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu."

Lebih lanjut Ka'ab berkata, "Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafiq ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah saw., lalu beliau menerima bai'at mereka dan meminta ampun kepada Allah. Tetapi masalah kami ditunda Rasulullah saw. sampai Allah memutuskan menerima tobat kami." Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan tobatnya...." (QS.9,118)

Firman tersebut menurut Ka'ab bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari perang Tabuk, tetapi mempunyai arti bahwa persoalan kami bertiga diundur dari orang munafiq yang bersumpah kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh Rasulullah saw." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam salah satu riwayat disebutkan, "Nabi saw. pada waktu perang Tabuk keluar pada Hari Khamis."

Dalam salah satu riwayat lain disebutkan, "Biasanya beliau kalau datang dari bepergian pada waktu pagi, dan bila datang biasanya langsung ke Masjid dan salat dua rakaat kemudian duduk di dalamnya."


Sunday, March 15, 2009

Sambutan Maulidur Rasul dan kemanisan iman


Alhamdulillah, tulisan saya berkenaan Maulidur-Rasul telah disiarkan di dalam Utusan Malaysia hari ini. Artikel ini boleh di lihat dalam Utusan Online: http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=0316&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_03.htm&arc=hive


Semoga ada manfaatnya.

Sambutan Maulidur Rasul dan kemanisan iman


Alhamdulillah, tulisan saya berkenaan Maulidur-Rasul telah disiarkan di dalam Utusan Malaysia hari ini. Artikel ini boleh di lihat dalam Utusan Online: http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2009&dt=0316&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_03.htm&arc=hive


Semoga ada manfaatnya.

Monday, March 9, 2009

Maulidur Rasul 1430H


Hadrat Anas RA meriwayatkan, bahawa Rasulullah SAW bersabda:
"Tiga perkara, sesiapa mempunyai ketiga-tiga perkara ini, dia telah memperolehi kemanisan iman: Bahawasanya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; dan dia mengasihi seseorang yang mana tidak dia kasihi orang itu melainkan kerana Allah; dan dia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya dia daripada dicampak ke dalam api neraka." (HR Al-Bukhari)

Kelazatan iman ini boleh dirasa. Mendengar cerita manisnya gula, tidak akan sama dengan dapat mencicipi rasa gula itu sendiri. Namun begitu, ada masanya, dengan mendengar cerita mereka yang telah merasai lazatnya manisan, membuatkan kita seolah-olah turut merasai sama kelazatannya.

Jika kita dapat bersama Saiyidina Bilal RA, mungkin kita akan dapat mendengar bagaimana Bilal RA memerikan betapa manis dan lazatnya iman, sehingga semasa batu yang besar dihimpitkan ke dadanya, hati dan mulutnya masih tega menyatakan, “Ahad! Ahad!”. Kita tidak dapat mengecapi kemanisan yang dirasai oleh Khansa’ R.HA ketika diberitahu kepadanya berita tentang kesyahidan kempat-empat puteranya, lalu berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan aku ibu kepada empat orang syuhada”. Alam rasa adalah alam yang amat dalam. Kesannya melampaui alam nyata.

Allah berfirman di dalam Ayat 31 Surah Aali ‘Imran:

“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.”

Imam Ibnu Kathir memberikan komentarnya mengenai ayat ini, “Yakni, akan terhasil bagi kamu melebihi apa yang kamu harapkan, iaitu daripada kasih kamu kepada Nya, kepada kasih-Nya kepada kamu; sedangkan ia (yakni kasih Allah kepada kamu) adalah lebih agung berbanding (perkara) yang pertama tadi (yakni kasih kamu kepada Allah). Sebagaimana kata sebahagian ulamak lagi hukamak: Bukanlah perkara yang hebat kamu mengasihi, tetapi perkara yang hebat itu ialah kamu dikasihi!”

Maka untuk Ittiba’ Rasulullah SAW, dengan penuh minat dan cinta, kita cuba semampu yang mungkin mengikuti tiga P yang ada pada Rasulullah SAW: Paparan, Perjalanan dan Perasaan Rasulullah SAW.

Paparan

Paparan zahiriah yang ada pada Rasulullah SAW kita ikuti dengan penuh cinta. Merupakan fitrah manusia, apabila meminati seseorang, dia akan berusaha untuk meniru dan menyerupai orang yang diminati itu. Maka siapakah yang lebih layak untuk dicintai dan diminati oleh seorang muslim melebihi Baginda Rasulullah SAW? Allah SWT berfirman:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isteri baginda adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab 33: 6)

Maka, jika ada seorang muslim yang berserban, bukan kerana dia terpesona dengan budaya bangsa Arab, tetapi kerana minat dan cintanya kepada apa yang dipakai oleh Nabi Muhammad SAW yang berbangsa Arab. Jika seorang muslim itu berjanggut, bukan kerana dia rasa berjanggut itu akan menampakkan dia lebih macho atau hebat, tetapi kerana minat dan cintanya untuk memiripkan penampilannya sehampir mungkin dengan seseorang yang amat diminatinya, iaitu Baginda Rasulullah SAW. Dan segala perasan minat dan cintanya ini, mempunyai manfaat dan nilai yang tinggi pada hari kita semua amat mengharapkan syafaat Baginda Rasulullah SAW!

Perjalanan

Perjalanan atau sirah Rasulullah SAW. Kita perlu jadikan pagi kita, seperti paginya Rasulullah SAW. Petang kita, seperti petangnya Rasulullah SAW. Siang kita seperti siangnya Rasulullah SAW. Malam kita seperti malamnya Rasulullah SAW. Setiap panduan, tuntunan, perintah dan arahan yang lahir daripada Baginda perlulah kita ikuti. Keimanan kita, ibadah, muamalat, muasyarat dan akhlak kita perlulah mengikuti seperti yang diteladani dan dikehendaki oleh Rasulullah SAW. Allah SWT mengingatkan:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah…” (Al-Hasyr 59:7)

“Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik, iaitu bagi orang yang sentiasa mengharapkan (keredaan) Allah dan (balasan baik) hari akhirat, serta dia pula menyebut dan mengingati Allah banyak-banyak (dalam masa susah dan senang).” (Al-Ahzab 33:21)

“Dan bahawa sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) mempunyai akhlak yang amat mulia.” (Al-Qalam 68:4)

Perasaan

Apa yang bergelora di dalam hati Rasulullah SAW juga perlu bergelora di dalam hati kita. Sebagaimana syafaqah (kasih sayang) Rasulullah SAW kepada umat Baginda tidak berbagai dalamnya, begitu jugalah hati kita juga mempunyai syafaqah itu terhadap saudara kita. Allah SWT menggambarkan:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah 9: 128)

Syafaqah ini membuahkan kerisauan. Kerisauan yang amat suci, kerisauan untuk melihat setiap orang diselamatkan daripada tangkapan neraka Allah, dan dimasukan ke dalam syurga Allah lalu memperoleh kejayaan yang hakiki lagi kekal. Kerisauan Rasulullah SAW tentang perkara ini dipersaksikan oleh Allah SWT sendiri melalui firman-Nya:

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an).” (Al-Kahfi 18:6)

“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.”
(Asy-Syu’araa 26:3)

Begitu indah Allah SWT menggambarkan, betapa kasih sayang dan fikir-risau Baginda Rasulullah SAW terhadap umat Baginda. Dan bersumber daripada fikir-risau inilah, lahirnya usaha dan pengorbanan. Rasullulah SAW dan para Sahabat telah bangun dan melakukan perjuangan yang amat besar. Perasaan syafaqah dan kerisauan yang sempurna inilah yang perlu wujud di dalam hati kita. Lalu mendorong kita untuk bangun atas usaha yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat, iaitu usaha dakwah ilalLah, lantas melayakkan kita untuk menyandang gelar sebagai Pengikut Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah (wahai Muhammad): "Inilah jalanku dan orang-orang yang menurutku, menyeru manusia umumnya kepada agama Allah dengan berdasarkan keterangan dan bukti yang jelas nyata. Dan aku menegaskan: Maha suci Allah (dari segala iktiqad dan perbuatan syirik); dan bukanlah aku dari golongan yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain."” (Yusuf 12:108)

Semoga sambutan Maulidur Rasul 1430H ini, membuatkan kita semakin hampir dengan apa yang ada di dalam hati Rasulullah SAW!

Maulidur Rasul 1430H


Hadrat Anas RA meriwayatkan, bahawa Rasulullah SAW bersabda:
"Tiga perkara, sesiapa mempunyai ketiga-tiga perkara ini, dia telah memperolehi kemanisan iman: Bahawasanya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; dan dia mengasihi seseorang yang mana tidak dia kasihi orang itu melainkan kerana Allah; dan dia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya dia daripada dicampak ke dalam api neraka." (HR Al-Bukhari)

Kelazatan iman ini boleh dirasa. Mendengar cerita manisnya gula, tidak akan sama dengan dapat mencicipi rasa gula itu sendiri. Namun begitu, ada masanya, dengan mendengar cerita mereka yang telah merasai lazatnya manisan, membuatkan kita seolah-olah turut merasai sama kelazatannya.

Jika kita dapat bersama Saiyidina Bilal RA, mungkin kita akan dapat mendengar bagaimana Bilal RA memerikan betapa manis dan lazatnya iman, sehingga semasa batu yang besar dihimpitkan ke dadanya, hati dan mulutnya masih tega menyatakan, “Ahad! Ahad!”. Kita tidak dapat mengecapi kemanisan yang dirasai oleh Khansa’ R.HA ketika diberitahu kepadanya berita tentang kesyahidan kempat-empat puteranya, lalu berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan aku ibu kepada empat orang syuhada”. Alam rasa adalah alam yang amat dalam. Kesannya melampaui alam nyata.

Allah berfirman di dalam Ayat 31 Surah Aali ‘Imran:

“Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.”

Imam Ibnu Kathir memberikan komentarnya mengenai ayat ini, “Yakni, akan terhasil bagi kamu melebihi apa yang kamu harapkan, iaitu daripada kasih kamu kepada Nya, kepada kasih-Nya kepada kamu; sedangkan ia (yakni kasih Allah kepada kamu) adalah lebih agung berbanding (perkara) yang pertama tadi (yakni kasih kamu kepada Allah). Sebagaimana kata sebahagian ulamak lagi hukamak: Bukanlah perkara yang hebat kamu mengasihi, tetapi perkara yang hebat itu ialah kamu dikasihi!”

Maka untuk Ittiba’ Rasulullah SAW, dengan penuh minat dan cinta, kita cuba semampu yang mungkin mengikuti tiga P yang ada pada Rasulullah SAW: Paparan, Perjalanan dan Perasaan Rasulullah SAW.

Paparan

Paparan zahiriah yang ada pada Rasulullah SAW kita ikuti dengan penuh cinta. Merupakan fitrah manusia, apabila meminati seseorang, dia akan berusaha untuk meniru dan menyerupai orang yang diminati itu. Maka siapakah yang lebih layak untuk dicintai dan diminati oleh seorang muslim melebihi Baginda Rasulullah SAW? Allah SWT berfirman:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isteri baginda adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab 33: 6)

Maka, jika ada seorang muslim yang berserban, bukan kerana dia terpesona dengan budaya bangsa Arab, tetapi kerana minat dan cintanya kepada apa yang dipakai oleh Nabi Muhammad SAW yang berbangsa Arab. Jika seorang muslim itu berjanggut, bukan kerana dia rasa berjanggut itu akan menampakkan dia lebih macho atau hebat, tetapi kerana minat dan cintanya untuk memiripkan penampilannya sehampir mungkin dengan seseorang yang amat diminatinya, iaitu Baginda Rasulullah SAW. Dan segala perasan minat dan cintanya ini, mempunyai manfaat dan nilai yang tinggi pada hari kita semua amat mengharapkan syafaat Baginda Rasulullah SAW!

Perjalanan

Perjalanan atau sirah Rasulullah SAW. Kita perlu jadikan pagi kita, seperti paginya Rasulullah SAW. Petang kita, seperti petangnya Rasulullah SAW. Siang kita seperti siangnya Rasulullah SAW. Malam kita seperti malamnya Rasulullah SAW. Setiap panduan, tuntunan, perintah dan arahan yang lahir daripada Baginda perlulah kita ikuti. Keimanan kita, ibadah, muamalat, muasyarat dan akhlak kita perlulah mengikuti seperti yang diteladani dan dikehendaki oleh Rasulullah SAW. Allah SWT mengingatkan:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah…” (Al-Hasyr 59:7)

“Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik, iaitu bagi orang yang sentiasa mengharapkan (keredaan) Allah dan (balasan baik) hari akhirat, serta dia pula menyebut dan mengingati Allah banyak-banyak (dalam masa susah dan senang).” (Al-Ahzab 33:21)

“Dan bahawa sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) mempunyai akhlak yang amat mulia.” (Al-Qalam 68:4)

Perasaan

Apa yang bergelora di dalam hati Rasulullah SAW juga perlu bergelora di dalam hati kita. Sebagaimana syafaqah (kasih sayang) Rasulullah SAW kepada umat Baginda tidak berbagai dalamnya, begitu jugalah hati kita juga mempunyai syafaqah itu terhadap saudara kita. Allah SWT menggambarkan:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah 9: 128)

Syafaqah ini membuahkan kerisauan. Kerisauan yang amat suci, kerisauan untuk melihat setiap orang diselamatkan daripada tangkapan neraka Allah, dan dimasukan ke dalam syurga Allah lalu memperoleh kejayaan yang hakiki lagi kekal. Kerisauan Rasulullah SAW tentang perkara ini dipersaksikan oleh Allah SWT sendiri melalui firman-Nya:

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an).” (Al-Kahfi 18:6)

“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.”
(Asy-Syu’araa 26:3)

Begitu indah Allah SWT menggambarkan, betapa kasih sayang dan fikir-risau Baginda Rasulullah SAW terhadap umat Baginda. Dan bersumber daripada fikir-risau inilah, lahirnya usaha dan pengorbanan. Rasullulah SAW dan para Sahabat telah bangun dan melakukan perjuangan yang amat besar. Perasaan syafaqah dan kerisauan yang sempurna inilah yang perlu wujud di dalam hati kita. Lalu mendorong kita untuk bangun atas usaha yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat, iaitu usaha dakwah ilalLah, lantas melayakkan kita untuk menyandang gelar sebagai Pengikut Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah (wahai Muhammad): "Inilah jalanku dan orang-orang yang menurutku, menyeru manusia umumnya kepada agama Allah dengan berdasarkan keterangan dan bukti yang jelas nyata. Dan aku menegaskan: Maha suci Allah (dari segala iktiqad dan perbuatan syirik); dan bukanlah aku dari golongan yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain."” (Yusuf 12:108)

Semoga sambutan Maulidur Rasul 1430H ini, membuatkan kita semakin hampir dengan apa yang ada di dalam hati Rasulullah SAW!

Thursday, March 5, 2009

Al-Miqaat Al-Ilaahiy

Tempoh masa empat puluh hari sebenarnya mempunyai signifikan yang tersendiri dalam proses pembangunan diri insan. Sebagaimana berdasarkan hadis Rasulullah SAW, tertib kejadian manusia pun berlaku dalam tempoh empat puluh hari.

Imam Muslim meriwayatkan daripada Abdullah ibni Mas’ud RA, “Rasulullah saw telah menceritakan kepada kami – sedang Baginda adalah orang benar yang telah dibenarkan kata-katanya - sabdanya: “Bahawa seseorang kamu dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian pada masa itu dijadikan segumpal darah seumpamanya, kemudian pada masa itu dijadikan seketul daging seumpamanya, kemudian Allah mengutuskan seorang Malaikat untuk menulis empat kalimah dan diarahkan agar menulis; amalannya, ajalnya, rezekinya dan untung jahat atau untung baik, kemudian ditiupkan rohnya…”. (HR Muslim).

Mungkin kerana itulah juga, ulamak tasawuf berpendapat, pengamalan sesuatu ibadah secara istiqamah selama empat puluh hari, akan memberikan kesan langsung yang khas kepada seseorang Muslim .

Contoh yang paling jelas, satu hadis yang berasal daripada Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW telah bersabda:
“Sesiapa yang mengerjakan solat berjemaah kerana Allah selama empat puluh hari dengan memperoleh takbiratul-ula, dituliskan baginya dua kelepasan, kelepasan daripada api neraka dan kelepasan daripada sifat munafik.” (HR At-Tirmizi)

Melalui hadis ini dinyatakan, kesan daripada istiqamah menjaga solat berjemaah selama empat puluh hari, seseorang Muslim akan terpelihara daripada mempunyai sifat munafik.

Malah di dalam Al-Quran, Allah menamakan tempoh empat puluh ini sebagai ‘al-Miqat al-Ilahiy’ (batas-masa keilahian) bagi Nabi Musa AS .

Allah SWT berfirman,“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (untuk bermunajat di Bukit Tursina) selama tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah miqat(tempoh-masa - yang telah ditentukan) Tuhannya iaitu empat puluh malam…” (Surah Al-A’raaf 7:142)

Ar-Razi di dalam karya tafsirnya ‘Mafatihul-Ghaib’ menyatakan, ‘miqat’ bermakna satu tempoh-masa yang telah ditentukan kadar amalan-amalan di dalamnya.

Mungkin kerana kepentingan dan rahsia yang ada pada ‘al-Miqat al-Ilahiy’ empat puluh hari inilah, Umar Al-Khattab RA diriwayatkan pernah menekankan supaya seseorang itu menggenapkan tempoh empat puluh hari untuk berjuang di Jalan Allah .

Abdul Razzaq telah mengeluarkan daripada Yazid bin Habib dia berkata, “Pernah seorang datang kepada Umar Al-Khattab RA lalu dia bertanya kepadanya: “Di mana engkau selama ini?” Jawabnya:”Aku berada di perbatasan.” Tanya Umar: “Berapa hari kau di sana?” Jawabnya: “Tiga puluh hari!” Kata Umar pula: “Kenapa engkau tidak cukupkannya empat puluh hari” (Kanzul Ummal 1: 288)

Semoga Allah melimpahkan taufikNya kepada kita semua agar mendapat kenikmatan dan nur dalam mentaati segala perintahNya, sebagaimana tuntunan baginda Rasulullah SAW.

Al-Miqaat Al-Ilaahiy

Tempoh masa empat puluh hari sebenarnya mempunyai signifikan yang tersendiri dalam proses pembangunan diri insan. Sebagaimana berdasarkan hadis Rasulullah SAW, tertib kejadian manusia pun berlaku dalam tempoh empat puluh hari.

Imam Muslim meriwayatkan daripada Abdullah ibni Mas’ud RA, “Rasulullah saw telah menceritakan kepada kami – sedang Baginda adalah orang benar yang telah dibenarkan kata-katanya - sabdanya: “Bahawa seseorang kamu dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian pada masa itu dijadikan segumpal darah seumpamanya, kemudian pada masa itu dijadikan seketul daging seumpamanya, kemudian Allah mengutuskan seorang Malaikat untuk menulis empat kalimah dan diarahkan agar menulis; amalannya, ajalnya, rezekinya dan untung jahat atau untung baik, kemudian ditiupkan rohnya…”. (HR Muslim).

Mungkin kerana itulah juga, ulamak tasawuf berpendapat, pengamalan sesuatu ibadah secara istiqamah selama empat puluh hari, akan memberikan kesan langsung yang khas kepada seseorang Muslim .

Contoh yang paling jelas, satu hadis yang berasal daripada Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW telah bersabda:
“Sesiapa yang mengerjakan solat berjemaah kerana Allah selama empat puluh hari dengan memperoleh takbiratul-ula, dituliskan baginya dua kelepasan, kelepasan daripada api neraka dan kelepasan daripada sifat munafik.” (HR At-Tirmizi)

Melalui hadis ini dinyatakan, kesan daripada istiqamah menjaga solat berjemaah selama empat puluh hari, seseorang Muslim akan terpelihara daripada mempunyai sifat munafik.

Malah di dalam Al-Quran, Allah menamakan tempoh empat puluh ini sebagai ‘al-Miqat al-Ilahiy’ (batas-masa keilahian) bagi Nabi Musa AS .

Allah SWT berfirman,“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (untuk bermunajat di Bukit Tursina) selama tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah miqat(tempoh-masa - yang telah ditentukan) Tuhannya iaitu empat puluh malam…” (Surah Al-A’raaf 7:142)

Ar-Razi di dalam karya tafsirnya ‘Mafatihul-Ghaib’ menyatakan, ‘miqat’ bermakna satu tempoh-masa yang telah ditentukan kadar amalan-amalan di dalamnya.

Mungkin kerana kepentingan dan rahsia yang ada pada ‘al-Miqat al-Ilahiy’ empat puluh hari inilah, Umar Al-Khattab RA diriwayatkan pernah menekankan supaya seseorang itu menggenapkan tempoh empat puluh hari untuk berjuang di Jalan Allah .

Abdul Razzaq telah mengeluarkan daripada Yazid bin Habib dia berkata, “Pernah seorang datang kepada Umar Al-Khattab RA lalu dia bertanya kepadanya: “Di mana engkau selama ini?” Jawabnya:”Aku berada di perbatasan.” Tanya Umar: “Berapa hari kau di sana?” Jawabnya: “Tiga puluh hari!” Kata Umar pula: “Kenapa engkau tidak cukupkannya empat puluh hari” (Kanzul Ummal 1: 288)

Semoga Allah melimpahkan taufikNya kepada kita semua agar mendapat kenikmatan dan nur dalam mentaati segala perintahNya, sebagaimana tuntunan baginda Rasulullah SAW.

Monday, March 2, 2009

Nikmati dingin-rasa ini....

OLAH TAFAKUR JIWA:

Duduklah seperti duduk di antara dua sujud.
Kendorkan badan lalu tundukkanlah hati anda serendah-rendahnya.

Lalu amati nafas kita. Amati saja, tidak perlu diatur.
Amati bahawa nafas kita bergerak sendiri tanpa kita perintah.
Mereka bergerak karena digerakkan Zat yang memberi kita hidup.
Sadari, bahwa yang akan kita sebut nama Nya adalah nama Zat yang memberi kita hidup.
Nama Zat yang menciptakan langit dan bumi.
Nama Zat Yang Maha Besar, Zat Yang Maha Agung
Sekarang panggilah nama Zat yang Maha Besar tanpa menghitung-hitung jumlahnya.

Panggilah dengan rendah hati dan suara lembut:
Allah…
(diam dan rasakan bagaimana Allah merespon panggilan anda)
Allah…
(diam dan amati apa yang anda rasakan)
Allah … Allah … Allah …
(panggilah nama Nya secara pelahan-lahan sampai anda merasa cukup)

Selamat menikmati dingin-rasa kontemplasi ini...!

Nikmati dingin-rasa ini....

OLAH TAFAKUR JIWA:

Duduklah seperti duduk di antara dua sujud.
Kendorkan badan lalu tundukkanlah hati anda serendah-rendahnya.

Lalu amati nafas kita. Amati saja, tidak perlu diatur.
Amati bahawa nafas kita bergerak sendiri tanpa kita perintah.
Mereka bergerak karena digerakkan Zat yang memberi kita hidup.
Sadari, bahwa yang akan kita sebut nama Nya adalah nama Zat yang memberi kita hidup.
Nama Zat yang menciptakan langit dan bumi.
Nama Zat Yang Maha Besar, Zat Yang Maha Agung
Sekarang panggilah nama Zat yang Maha Besar tanpa menghitung-hitung jumlahnya.

Panggilah dengan rendah hati dan suara lembut:
Allah…
(diam dan rasakan bagaimana Allah merespon panggilan anda)
Allah…
(diam dan amati apa yang anda rasakan)
Allah … Allah … Allah …
(panggilah nama Nya secara pelahan-lahan sampai anda merasa cukup)

Selamat menikmati dingin-rasa kontemplasi ini...!